Kamis, 10 Juni 2010

RAHASIA KHUSYUK DALAM SALAT

Seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan sangat khusyuk solatnya. Namun dia selalu khawatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasakan kurang khusyuk. 
Pada suatu hari, Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Isam dan bertanya : "Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan solat?" 
Hatim berkata : "Apabila masuk waktu solat aku berwudhu' zahir dan batin." 

Isam bertanya, "Bagaimana wudhu' zahir dan batin itu?" 
Hatim berkata, "Wudhu' zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu' dengan air. Sementara wudhu' batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara :- 

1. bertaubat 
2. menyesali dosa yang dilakukan 
3. tidak tergila-gilakan dunia 
4. tidak mencari / mengharap pujian orang (riya') 
5. tinggalkan sifat berbangga 
6. tinggalkan sifat khianat dan menipu 
7. meninggalkan sifat dengki 

Seterusnya Hatim berkata, "Kemudian aku pergi ke masjid, aku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula bahawa aku seolah-olah berdiri di atas titian 'Sirratul Mustaqim' dan aku menganggap bahawa solatku kali ini adalah solat terakhirku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. 

Setiap bacaan dan doa dalam solat kufaham maknanya, kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhu', aku bertasyahhud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bersolat selama 30 tahun." 
Apabila Isam mendengar, menangislah dia kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

Senin, 07 Juni 2010

AL-QUR'AN SEBAGAI PEMBELA DI HARI AKHIRAT

Abu Umamah r.a. berkata : "Rasulullah S.A.W telah menganjurkan supaya kami semua mempelajari Al-Qur'an, setelah itu Rasulullah S.A.W memberitahu tentang kelebihan Al-Qur'an."
Telah bersabda Rasulullah S.A.W : Belajarlah kamu akan Al-Qur'an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya."
Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, " Kenalkah kamu kepadaku?" Maka orang yang pernah membaca akan menjawab : "Siapakah kamu?"

Maka berkata Al-Qur'an : "Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari."
Kemudian berkata orang yang pernah membaca Al-Qur'an itu : "Adakah kamu Al-Qur'an?" Lalu Al-Qur'an mengakui dan menuntun orang yang pernah membaca mengadap Allah S.W.T. Lalu orang itu diberi kerajaan di tangan kanan dan kekal di tangan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya.

Pada kedua ayah dan ibunya pula yang muslim diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya : "Dari manakah kami memperolehi ini semua, pada hal amal kami tidak sampai ini?"
Lalu dijawab : "Kamu diberi ini semua kerana anak kamu telah mempelajari Al-Qur'an."

Rabu, 02 Juni 2010

Fenomenologi Simbolik al-Qur’an

Fenomenologi Simbolik al-Qur’an

Suatu ketakjuban yang terasa dikala pertama kali mengetahui keilmuan ini yang begitu dahsyat, memberikan kontribusi baru dalam dunia penafsiran Qur’an, dengan memberikan pembuktian yang lebih kompleks yang bukan sekedar mengartikan konteks setiap ayat, namun mengbongkar setiap makna simbol yang tercantum di Qur’an
Dari metodologi ini benar-benar membuka mata kita di mana Qur’an menunjukkan dirinya sebagai Huda (petunjuk) Assyifa (penyembuh) dan gudang dari segala ilmu yang ada di alam semesta ini, bahkan dari sini pula kita dapat mengenal jati diri, mengenal karakter dasar manusia yang selama ini kebanyakan orang merujuk seperti halnya pada zodiak, shio, atau keilmuan lainnya yang serupa. Dan yang terpenting di sini adalah bukannya seberapa detail Qur’an itu dapat menguak karakter dasar manusia namun seberapa besar keinginan kita untuk belajar, mengkaji, bereksperimen dan terus menggali isi Qur’an yang tak akan pernah habis untuk digali.

Metodologi ini pertama kali ditemukan Ust Lukman Abdul Qohar Sumabrata (almarhum). Melalui pergulatan intelektual dan spiritualnya selama 20 tahun, beliau telah menemukan makna-makna baru yang konsisten dan unik dalam susunan Qur’an. susunan Qur’an dalam hal ini berupa unsur simbolik seperti huruf, angka, juz, surat maupun ayat yang selama ini belum pernah diperhatikan secara khusus dalam study Qur’an konvensional.
Sebagaimana metodologi ilmu tafsir pada umumnya, metodologi “Fenomenologi Simbolik al-Qur’an” ini juga telah dikembangkan melalui kelompok diskusi atau pusat studi Qur’an terutama di kalangan anak-anak muda (mahasiswa) di beberapa tempat. Penemuan ini telah menjadi milik kolektif umat Islam, sebagai alternatif terhadap metodologi ilmu tafsir konvensionalyang telah berkembang cukup lama.
Segi yang unik dari metodologi ini terletak pada model pemaknaannya yang langsung berkaitan dengan aspek konkrit kehidupan manusia. Misalnya, setiap simbol dalam Qur’an merupakan gambaran real setiap manusia. Interpretasi yang dilakukan juga tidak semata-mata bersifat teoritis-spekulatif, melainkan telah di-deduksikan dan diuji-cobakan melalui eksperimen empirik.

Melalui metodologi ini, keseluruhan fenomena simbolik dalam Qur’an baik huruf (abjad), angka, surat maupun juz, secara logis-empiris dapat dibuktikan memiliki realitas obyektif, baik berupa fenomena budaya, manusia maupun alam semesta.
Proses kreatif yang dialami Ust Lukman Abdul Qohar Sumabrata tersebut, sebagaimana telah terbukti dapat ditransfer oleh setiap orang, merupakan peristiwa yang dapat dialami setiap orang. Proses tersebut dapat terjadi apabila seseorang memformat diri dengan membaca teks Qur’an, yaitu membacanya tanpa pretensi untuk menerjemahkan ayat itu ke dalam bahasa budaya. Pemaknaan terhadap Qur’an merupakan “tanggung jawab” Qur’an itu sendiri yang secara eksistensial berada dalam struktur tubuh setiap manusia. Dengan kata lain, oleh karena ke-114 surat dalam Qur’an merupakan gambaran mikro dan makro-kosmik, maka ketika manusia membaca seluruh kandungan Qur’an secara eksistensial berarti ia bercermin dan berdialog. Membaca Qur’an merupakan salah satu sarana manusia melakukan dialog, baik internal dengan diri sendiri maupun dialog eksternal dengan alam semesta termasuk dialog simbolik dan energetik.

Apabila penjelalasan ini perlu dilegitimasi oleh ayat Qur’an, maka ada beberapa ayat yang dapat dipakai untuk membenarkan metode ini, yaitu dalam surat ke-75 (Al-Qiyamah) ayat 16-19:
16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. 17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. 19. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.
Inilah salah satu prinsip metodologis pemahaman Qur’an. pada instansi pertama, orang perlu membaca Qur’an sebagai sarana untuk bercermin dan mengenal diri apa yang dialami ust Lukman, setelah berkali-kali tamat dalam membaca Qur’an, seluruh anggota tubuh berbicara secara simbolik melalui gerakan-gerakan tertentu dan menuntut diberi pemaknaan. Kesadarannya masih terkontrol tetapi tak berdaya untuk menahan dan menolak gerakan yang ia sendiri tidak menginginkannya, misalnya dia mengalami kebutaan selama beberapa hari. Tetapi ironiknya kebutaan tersebut hanyalah merupakan sandi yang harus dipecahkan oleh dirinya melalui suatu pemaknaan keilmuan tertentu, sesuai dengan sandi-sandi yang ada dalam Qur’an
Setiap sandi yang ia terima dari tubuhnya haruslah diterjemahkan ke dalam suatu konsepsi atau pengertian tertentu, berkaitan dengan sandi yang ada dalam Qur’an. jika suatu sandi belum terpecahkan maka ia akan tetap dikerjakan oleh dirinya sendiri. Sandi keilmuan itu muncul baik pada waktu salat, pada saat ia membaca Qur’an atau pada saat ia memikirkan makna Qur’an. sandi keilmuan bedatangan bertubi-tubi melalui berbagai bentuk misalnya: tiba-tiba kaki lumpuh, mulut bisu, berjalan mundur, tiba-tiba dirinya disujudkan, tangan bergerak tak terkendali dan gerakan lain yang mencerminkan bentuk huruf (abjad) tertentu
Dengan dasar inilah kemudian ditemukan makna sandi yang ada di dalam Qur’an. sebenarnya proses spiritual semacam ini banyak disinyalir dalam Qur’an, misalnya surat ke 36 (Yasiin) ayat 65 dan surat ke 41 (Fushilat) ayat 35
[36.65] Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.
[41.53] Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?
Dengan ayat ini jelaslah bahwa struktur tubuh kita sesungguhnya mencerminkan suatu bentuk susunan sandi (ayat) sebagaimana susunan Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, seseorang dapat mencapai tingkat “mukayafah” (kepekaan tinggi) dengan cara membaca Qur’an. ketika seseorang telah mencapai tertentu, maka setiap anggota tubuh dapat berbicara memberikan simbol dan sinyal keilmuan sebagaimana dinyatakan ayat tersebut di atas dan itulah pengalaman spiritual.

Seekor laba-laba pun telah memberikan pelajaran pada kita, bagaimana ia tak pernah berputus asa membangun rumahnya yang rapuh itu, meskipun rumahnya dirusak beribu kali. Oleh karena itu, dalam surat ke 29 (al-ankabut) ayat 69 disebutkan:
[29.69] Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Dengan demikian dalam konteks sekarang ini kepentingan kita barangkali tidak lagi terpaku pada bagaimana, kenapa, dan oleh siapa suatu “metodologi baru” Qur’an itu ditemukan. Kepentingan yang lebih urgen untuk saat ini barangkali bagaimana menguji “penemuan” itu secara ilmiah. Apakah suatu penemuan itu dapat membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang logis, konsisten dan bermanfaat bagi manusia

Beberapa Asumsi Dasar (Paradigma)


Metodologi Fenomenologi simbolik yang dikembangkan untuk melakukan interpretasi terhadap aspek simbolik susunan Qur’an didasarkan atas asumsi sebagai berukut:
1.       Qur’an kitab yang di tulis dalam bahasa sandi atau simbol. Dengan demikian Qur’an bukan hanya berupa susunan tanda bunyi yang mencerminkan bahasa lisan atau bahasa bunyi (kata-kata verbalis)
2.       Qur’an satu kitab yang disusun dalam suatu format tertentu dan didalamnya terkandung berbagai unsur simbolik yang tersusun secara holistik. Setiap unsur terkait satu sama lain dan saling memberikan makna simbolik terhadap keseluruhannya
3.       Mustahil jika setiap unsur simbolik yang tertera dalam susunan Qur’an itu tidak mengandung makna atau pesan keilmuan
4.       Setiap unsur simbolik dalam Qur’an memiliki karakter khusus sebagaimana setiap unsur alam semesta , termasuk manusia memiliki karakter yang khas pula
5.       Nilai dan letak kewahyuan yang paling dalam dari Qur’an bukan pada susunan bahasa verbalnya yang umum disebut ayat, tetapi pada susunan reaksi unsur-unsur simboliknya
Melalui dasar asumsi inilah maka kita dapat memahani adanya berbagai sinyalemen bahwa:
1.       Qur’an diturunkan per huruf/sandi
2.       Ayat Qur’an diterima dalam bentuk gemuruhnya angin/badai
3.       Ayat Qur’an diterima dalam bentuk dialog internal seorang Muhammad, gerak-gerik alam semesta yang diantisipasinya dengan kata-kata “aku mengerti”
4.       Qur’an tidak dapat dialih-sandikan, apalagi dialih-bahasakan. Qur’an hanya hanya dapat dibaca dengan mata agar si pembaca mengalami dialog internal, yakni menghidupkan unsur sel (fisika, kimiawi dan biologis) yang ada dalam dirinya. Terbukti, dengan membaca Qur’an secara tepat memperlancar proses metabolisme dalam tubuh


Dalam konteks studi fenomenologi Qur’an ini, beberapa teori yang dapat dirumuskan, antara lain:
1.       (huruf Qur’an) huruf/abjad yang dipakai untuk menulis Qur’an di samping merupakan tanda dari bunyi tertentu juga memiliki makna simbolik atau merupakan simbol yang mewakili realitas obyektif tertentu
2.       (angka) angka dalam Qur’an memliki kebenaran tersendiri. angka dalam kaitan nomor surat, ayat maupun juz merupakan petunjuk adanya keterkaitan antara berbagai unsur simbolik
3.       (surat) nama-nama surat dalam Qur’an di samping merupakan simbol dari benda alam semesta juga mencerminkan karakteristik unsur alam semesta termasuk juga karakteristik manusia yang merupakan gambaran kompleksitas eksistensial manusia, baik perjalanan hidup, karakteristik, maupun dimensi kebudayaannya
4.       (juz) juz dalam Qur’an gambaran perbedaan karakter setiap manusia. Setiap orang memiliki juz dalam Qur’an. membaca juz sarana efektif untuk melakukan pengenalan diri dan membaca juz dapat dijadikan sarana penyembuhan segala macam penyakit. Psikologi Qur’an sangat bermanfaat bagi penjelasan mengenai berbagai variasi tingkah laku dan sifat dasar setiap orang
5.       (‘ain) tanda ‘ain dalam susunan format Qur’an catatan kaki. Dapat dipakai untuk mendeteksi kelemahan dan kelebihan fisik setiap orang dalam konteks juznya. Jumlah tanda ‘ain dalam setiap juz mencerminkan struktur tententu yang menggambarkan eksistensi manusia. Filsafat manusia dan kebudayaan dalam Qur’an antara lain terletak pada susunan tanda ‘ain

Semangat bereksperimen dan pembuktian


Kepentingan kita selanjutnya menguji beberapa penjelasan teori di atas dalam eksperimen. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menguji kebenaran teori di atas. Pertama ajukanlah suatu pertanyaan sebagai berikut:
1.      Saya ini orang yang berjuz berapa?
2.      Kenapa saya memiliki kelemahan/keluhan
3.      Fisik yang laten?bagaimana penjelasannya? Kenapa saya memiliki kecenderungan tertentu memandang masalah, melakukan sesuatu dan memecahkan masalah di mana letak sandi tertulisnya dalam Qur’an?
Pertama, carilah jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut di atas dengan cara bertadarus 30 juz dengan kaidah baca yang telah ditentukan
Kedua, lakukanlah pendataan susunan Qur’an, niscaya akan dapat ditemui berbagai pola yang sistematik dan mengundang pertanyaan
Ketiga, lakukan percobaan melakukan self-terapi dengan cara membaca Qur’an secara tepat, sebab Qur’an menjanjikan dirinya sebagai asyifa, atau obat segala obat. Dengan demikian, studi ini menuntut kita semua untuk melakukan eksplorasi serius tentang isi Qur’an sehingga kita terbiasa untuk tidak mudah percaya sebelum mengerti dan memahami.

Mushaf Utsmani sebagai dasar penemuan


Jika kita ingin pertanyakan bagaimanakah Qur’an itu disusun? Atau, bagaimanakah susunan Qur’an yang sebenarnya? Apakah ada standar baku susunan Qur’an yang disepakati umat Islam di seluruh dunia? Pernahkah kita berfikir tentang keaslian Qur’an? apakah kita yakin, bahwa Qur’an yang kita warisi sekarang masih asli? Inilah beberapa pertanyaan yang cukup menggelitik kita, paling tidak memancing kuriositi kita untuk mengetahui bagaimanakah sejarah kodifikasi Qur’an itu sendiri.
Selama ini cetakan Qur’an yang beredar kita ketahui dinamai mushaf Utsmani, yang terdapat beberapa ciri yang paling menyolok antara lain: disusun dalam 114 surat, 30 juz, 6236 ayat, urutan nama surat berawal dari surat al-fatihah sampai an-nas yang demikian tidak didasarkan atas kronologi turunnya ayat,  namun dari segi pencetakkannya diterbitkan dalam berbagai variasi perwajahan
Dengan adanya pengukuran-pengukuran terhadap setiap indikator mengakibatkan adanya keteraturan format. Al Qur'an yang menjadi obyek study metoda ini sebagai dasar penemuan formatnya sangat teratur dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Terdiri dari 30 Al Juz, dimana setiap Al Juz terdiri dari 16 halaman kecuali juz 1 sebanyak 15 halaman dan juz 30 sebanyak 21 halaman, dan awal Al Juz selalu dimulai dari halaman sebelah kiri.
2.      Ayat pertama atau sebagian dari ayat pertama dalam Juz huruf-hurufnya ada yang dicetak tebal.
3.      Tidak ada ayat yang terpotong oleh halaman kecuali halaman 484
4.      Terdiri atas 114 Surat, 6236 Ayat, 558 Tanda Ruku' [ Í ].
5.      Terdiri atas 485 Halaman dimana setiap halaman terdiri dari 18 Baris.
6.      Halaman dua (2) dan-halaman tiga (3) format barisnya berbeda dengan halaman-halaman lainnya dan pada halaman satu () angka yang menunjukkan halamannya tidak ditulis .


Inilah ciri-ciri format Qur’an mushaf Utsmani yang mendasari dari penemuan fenomenologi simbolik Qur’an sehingga dikala kita ingin memasuki dalam sistem baca sesuai format keilmuan ini maka menganjurkan kita untuk membaca Qur’an dengan cetakan yang sesuai dengan ciri-ciri diatas.